Thursday, January 15, 2009

(6) there was a guy...

“Na, Na…” senggol Ria dengan hiperbolisnya dan membuat cairan kopi yang ada di dalam cangkirku tertumpah sedikit. Buset, deh. Lebih kenceng sedikit lagi, bukan isinya saja yang tumpah, tapi cangkirnya ikut jungkir balik sekalian!

“Apaan, sih, Yaaaa…” aku lebih memilih untuk mengelap tanganku yang basah. Untung cuman sedikit, kalau banyak… bisa-bisa aku segera daftar ke dokter bedah buat operasi plastik. Hehe, hiperbolis mana, sih, aku atau Ria, sekretaris Pak Ramon yang menganggap everyday is stocking day itu? “Elo tuh, ya… Kalau kalem bentar, bisa sakit sampai tujuh hari tujuh malam, ya?” Okay. Pertanyaanku yang terakhir itu telah menjawab pertanyaan tentang siapa yang lebih hiperbolis di antara kami berdua.. :D

“Aduh, Lanaaa…. Kalau sekalinya gue kalem, bisa-bisa dunia kiamat kaleee… Emang lo mau, gitu, belum kawin tapi udah keburu kiamat?”

Satu hal yang perlu diketahui tentang Riana Dewanti adalah mulutnya yang bawel, suka nyerocos, dan seringkali out of control. Kadang, kalau aku sedang ingin fokus pada pekerjaan, sementara suara Ria yang entah berapa decibel itu bergema di seluruh lantai (okay, ini hiperbolis, ya… maksudku, ruanganku dan ruangan Pak Ramon itu hanya berjarak beberapa meter saja, jadi kalau suara perempuan bawel itu pasti akan terdengar dari sini, meskipun dengan kondisi pintu tertutup! Hebat banget, kan?), aku benar-benar ingin mencari tombol switch on-off di tubuh Ria supaya mulut perempuan itu berhenti nyerocos sebentar karena aku lagi butuh suasana tenang.

Tapi satu hal lagi tentang Ria yang membuat aku menjadikannya partner kabur ke kedai kopi di lobby lantai dasar setiap Pak Ramon meeting ke kantor pusat atau sekedar cuci mata di mal kalau sedang bosan, karena Ria adalah satu-satunya teman kantor yang seumuran, punya materi gossip yang bisa menjamin hariku nggak bakalan membosankan, dan ya.. nasibnya yang sama seperti aku: thirty and single.

Ah, laki-laki di dunia sudah butuh kaca mata semua deh, karena membiarkan perempuan seperti Ria dan Kelana ini berkeliaran tanpa pasangan… hehe..

“Na… lo mikirin apa, sih?”

“Hah? Nggak kok. Kenapa?”

“Abisnya, lo diem aja pas gue tanya pendapat lo soal cowok itu…”

“Cowok yang mana?”

“Cowok yang itu…” Ria menunjuk seorang lelaki yang sedang duduk di dalam ruangan Pak Ramon dan nampak berbincang-bincang akrab dengannya,sambil sesekali tertawa dan memperlihatkan gigi-geliginya.

“Yang pake kemeja putih itu?”

“Ya iya, lah. Kalau yang pake baju biru tua itu Pak Ramon dan di situ cuman ada dua orang, Kelana yang begooo…”

Aku tertawa lalu kembali mengarahkan pandanganku ke arah lelaki yang dimaksud oleh Ria. Lelaki berkemeja putih, celana bahan warna coklat, dasi yang senada, dan kaca mata yang membingkai wajahnya yang sangat maskulin. Dagunya yang persegi dan sepasang mata yang seolah tetap berteriak memanggilku meski terlindungi oleh lensa mahal, adalah dua dari sekian hal yang aku suka dari seorang lelaki. Dan Ria tahu persis dengan seleraku. No wonder dia berteriak girang dan histeris sampai air kopiku tumpah.

“Hey, hey… what do you think, Na?”

Aku masih memandang lelaki itu. Entah kenapa sosoknya seolah magis dan menyeretku masuk ke dalam pesonanya. Tidak banyak lelaki yang memiliki charm seperti itu, tidak banyak lelaki yang berhasil merebut seluruh perhatian dan konsentrasi ketika pertama kali mengamati setiap senti sosoknya.

Dan kamu tahu, kan, bagaimana rasanya ketika kamu terlalu fokus pada sesuatu lalu tiba-tiba sosok itu bergerak dan membuatmu terkaget-kaget?

Well..
It happened.
Lelaki itu menoleh.
Memandangiku.

Dan aku benar-benar berharap, ada lubang rahasia di ruang pantry ini yang bisa menelan tubuhku, saat itu juga!