Thursday, January 8, 2009

(5) Weirdo?

“Besok siang kita makan dimsum, yuk, Hon?” kataku saat mengantarnya ke depan. Radit sedang bersiap untuk masuk ke dalam mobil dinasnya, Toyota Fortuner warna hitam.

“Besok? Siang?”

“Iya, besok… Siang…. Bisa?” tanyaku takut-takut. Persisnya, aku takut kecewa. Aku tahu, being seen in public isn’t something in his list. Meskipun Mona, istrinya, terpisah ratusan kilometer dari sini, tapi reputasinya sebagai Branch Manager akan tercoreng kalau ada yang tahu Pak Raditya Samudera berkencan dengan perempuan cantik (well, I am! Hehe) yang bekerja di perusahaan saingannya. But do you know the feeling, ketika kamu ingin menikmati setiap waktumu dengan kekasih dan mengabaikan semua aturan yang sudah mirip aturan protokoler seorang ibu walikota itu? Don’t you just love being with your boyfriend?

“Siang, ya?”

“He-eh…. Hey, you know what, forget what I’ve said,” ralatku, “Kita makan dimsumnya take away aja, seperti biasa…”

Ah, kapan ya, Dit, kita bisa berkencan lagi seperti dulu? Tidak perlu berpusing-pusing mencari tempat yang tersembunyi atau lebih memilih untuk kencan di apartemenku? Atau runaway ke luar kota sekedar untuk memuaskan keinginanku makan dimsum atau soto ayam?

Kenapa sih, Mbak Siska musti melihat kita di Starbucks lalu kemudian memberitahu semua orang di kantormu dan membuat Branch Manager sepertimu salah tingkah saat berhadapan dengan karyawan-karyawanmu yang ratusan itu? Bisa nggak sih, kamu pecat saja mereka semua dan ganti semuanya dengan yang baru; orang-orang yang hanya tahu kalau Raditya Samudera adalah pria yang single and available and at the mean time, he’s dating a sexy girl named Kelana Lesmana Dewi?

Is that too much to ask, Babe?

“Kamu tahu, Kelana…” kata Radit sambil menggenggam jemariku. “Seandainya kamu mau… I would marry you. Right here, right now.”
Aku terdiam.

“I would love to kiss you in public…. Di depan semua orang…. Dan bilang sama mereka kalau perempuan cantik ini adalah perempuan yang aku cintai…”

Aku masih terdiam. Aku hanya melihat mata Radit berkilat-kilat dan aku tak berdaya untuk menahan air mataku yang sebentar lagi pasti akan meleleh.

“I would gladly marry you…. Kalau kamu mau menjadi istriku dan kalau aku bisa membuatmu yakin bahwa menikahimu tidak akan membuat Mona terluka…”

“Mona akan terluka, Babe,” kataku sambil terisak. See? The teardrops are falling…

“She is now.”

“Aku nggak ingin kamu lebih menyakitinya dengan menikahi perempuan lain…”

“But I’m hurting you, Sweetie… It’s been three years. Ya, tiga tahun, Sweetie. Kenapa kamu nggak mau jadi istriku, sih?”

“Because you’re married, Babe.”

“Well, I told you for so many fucking times. I can leave her!”

“But I cannot let you do that…” kataku sambil terus terisak.

“Mau kamu apa, sih?” Radit mulai kehilangan kesabarannya, and believe me, it’s not his first time.

“Setahun kemarin aku sudah bilang sama kamu, kan… I wanted to leave her. Tapi kamuw selalu melarang aku untuk melakukannya…. Til now.”

“Iya.. aku tahu…”

“Tapi lihat kamu barusan? Kalau saja tadi ada cameraman yang menggondol kameranya di samping kita lalu merekam peristiwa ini barusan, kamu akan lihat betapa sedihnya wajah kamu saat bilang kita take away aja seperti biasa…”

“Iya…”

“Make up your mind, Kelana. Are you in, or are you out?”

“Maksud kamu?”

“Johnny Depp pun selalu punya waktu kosong di tengah-tengah film yang satu dan film lainnya. Tapi seorang Raditya Samudera tak pernah punya waktu istirahat untuk berakting. Dia harus berakting dua puluh empat jam, Kelana. Half day di kantor, half day di sini, bersama kamu. First half, aku berpura-pura untuk tidak mengenalmu. The other half, aku musti berpura-pura untuk tidak menyakitimu. Don’t you realize how it’s killing, me? Aku bisa gila kalau harus berpura-pura seperti ini terus!”

Radit memandangku dengan kesal. Ya, bukan yang pertama kali ini dia merasakan kekesalan yang sama. Aku tak bisa berkata apa-apa, kecuali memeluk tubuhnya yang bergetar.

Ah, I am truly a weirdo.

Pernah nggak sih, di sepanjang sejarah, ada seorang perempuan muda yang rela menjadi wanita kedua, tapi membiarkan lelaki tercintanya itu untuk tidak menikahinya dan melarangnya untuk meninggalkan istrinya demi perempuan itu?

Pernah nggak sih, di sepanjang sejarah yang pernah kamu tahu, kalau itu semua dilakukannya atas nama cinta, karena di matanya cinta adalah memberikan segalanya tanpa menuntut mendapatkan segalanya?

Kalau memang tidak pernah terjadi dalam sejarah, well, then let me be the first.

Aku akan telepon MURI atau Guiness Book sekalian supaya segera mencatatnya karena aku adalah perempuan pertama yang rela menahan sakit hatinya sendiri dan sangat naïf dalam menerjemahkan isi hatinya.

0 comments: