Thursday, January 15, 2009

(6) there was a guy...

“Na, Na…” senggol Ria dengan hiperbolisnya dan membuat cairan kopi yang ada di dalam cangkirku tertumpah sedikit. Buset, deh. Lebih kenceng sedikit lagi, bukan isinya saja yang tumpah, tapi cangkirnya ikut jungkir balik sekalian!

“Apaan, sih, Yaaaa…” aku lebih memilih untuk mengelap tanganku yang basah. Untung cuman sedikit, kalau banyak… bisa-bisa aku segera daftar ke dokter bedah buat operasi plastik. Hehe, hiperbolis mana, sih, aku atau Ria, sekretaris Pak Ramon yang menganggap everyday is stocking day itu? “Elo tuh, ya… Kalau kalem bentar, bisa sakit sampai tujuh hari tujuh malam, ya?” Okay. Pertanyaanku yang terakhir itu telah menjawab pertanyaan tentang siapa yang lebih hiperbolis di antara kami berdua.. :D

“Aduh, Lanaaa…. Kalau sekalinya gue kalem, bisa-bisa dunia kiamat kaleee… Emang lo mau, gitu, belum kawin tapi udah keburu kiamat?”

Satu hal yang perlu diketahui tentang Riana Dewanti adalah mulutnya yang bawel, suka nyerocos, dan seringkali out of control. Kadang, kalau aku sedang ingin fokus pada pekerjaan, sementara suara Ria yang entah berapa decibel itu bergema di seluruh lantai (okay, ini hiperbolis, ya… maksudku, ruanganku dan ruangan Pak Ramon itu hanya berjarak beberapa meter saja, jadi kalau suara perempuan bawel itu pasti akan terdengar dari sini, meskipun dengan kondisi pintu tertutup! Hebat banget, kan?), aku benar-benar ingin mencari tombol switch on-off di tubuh Ria supaya mulut perempuan itu berhenti nyerocos sebentar karena aku lagi butuh suasana tenang.

Tapi satu hal lagi tentang Ria yang membuat aku menjadikannya partner kabur ke kedai kopi di lobby lantai dasar setiap Pak Ramon meeting ke kantor pusat atau sekedar cuci mata di mal kalau sedang bosan, karena Ria adalah satu-satunya teman kantor yang seumuran, punya materi gossip yang bisa menjamin hariku nggak bakalan membosankan, dan ya.. nasibnya yang sama seperti aku: thirty and single.

Ah, laki-laki di dunia sudah butuh kaca mata semua deh, karena membiarkan perempuan seperti Ria dan Kelana ini berkeliaran tanpa pasangan… hehe..

“Na… lo mikirin apa, sih?”

“Hah? Nggak kok. Kenapa?”

“Abisnya, lo diem aja pas gue tanya pendapat lo soal cowok itu…”

“Cowok yang mana?”

“Cowok yang itu…” Ria menunjuk seorang lelaki yang sedang duduk di dalam ruangan Pak Ramon dan nampak berbincang-bincang akrab dengannya,sambil sesekali tertawa dan memperlihatkan gigi-geliginya.

“Yang pake kemeja putih itu?”

“Ya iya, lah. Kalau yang pake baju biru tua itu Pak Ramon dan di situ cuman ada dua orang, Kelana yang begooo…”

Aku tertawa lalu kembali mengarahkan pandanganku ke arah lelaki yang dimaksud oleh Ria. Lelaki berkemeja putih, celana bahan warna coklat, dasi yang senada, dan kaca mata yang membingkai wajahnya yang sangat maskulin. Dagunya yang persegi dan sepasang mata yang seolah tetap berteriak memanggilku meski terlindungi oleh lensa mahal, adalah dua dari sekian hal yang aku suka dari seorang lelaki. Dan Ria tahu persis dengan seleraku. No wonder dia berteriak girang dan histeris sampai air kopiku tumpah.

“Hey, hey… what do you think, Na?”

Aku masih memandang lelaki itu. Entah kenapa sosoknya seolah magis dan menyeretku masuk ke dalam pesonanya. Tidak banyak lelaki yang memiliki charm seperti itu, tidak banyak lelaki yang berhasil merebut seluruh perhatian dan konsentrasi ketika pertama kali mengamati setiap senti sosoknya.

Dan kamu tahu, kan, bagaimana rasanya ketika kamu terlalu fokus pada sesuatu lalu tiba-tiba sosok itu bergerak dan membuatmu terkaget-kaget?

Well..
It happened.
Lelaki itu menoleh.
Memandangiku.

Dan aku benar-benar berharap, ada lubang rahasia di ruang pantry ini yang bisa menelan tubuhku, saat itu juga!

Thursday, January 8, 2009

(5) Weirdo?

“Besok siang kita makan dimsum, yuk, Hon?” kataku saat mengantarnya ke depan. Radit sedang bersiap untuk masuk ke dalam mobil dinasnya, Toyota Fortuner warna hitam.

“Besok? Siang?”

“Iya, besok… Siang…. Bisa?” tanyaku takut-takut. Persisnya, aku takut kecewa. Aku tahu, being seen in public isn’t something in his list. Meskipun Mona, istrinya, terpisah ratusan kilometer dari sini, tapi reputasinya sebagai Branch Manager akan tercoreng kalau ada yang tahu Pak Raditya Samudera berkencan dengan perempuan cantik (well, I am! Hehe) yang bekerja di perusahaan saingannya. But do you know the feeling, ketika kamu ingin menikmati setiap waktumu dengan kekasih dan mengabaikan semua aturan yang sudah mirip aturan protokoler seorang ibu walikota itu? Don’t you just love being with your boyfriend?

“Siang, ya?”

“He-eh…. Hey, you know what, forget what I’ve said,” ralatku, “Kita makan dimsumnya take away aja, seperti biasa…”

Ah, kapan ya, Dit, kita bisa berkencan lagi seperti dulu? Tidak perlu berpusing-pusing mencari tempat yang tersembunyi atau lebih memilih untuk kencan di apartemenku? Atau runaway ke luar kota sekedar untuk memuaskan keinginanku makan dimsum atau soto ayam?

Kenapa sih, Mbak Siska musti melihat kita di Starbucks lalu kemudian memberitahu semua orang di kantormu dan membuat Branch Manager sepertimu salah tingkah saat berhadapan dengan karyawan-karyawanmu yang ratusan itu? Bisa nggak sih, kamu pecat saja mereka semua dan ganti semuanya dengan yang baru; orang-orang yang hanya tahu kalau Raditya Samudera adalah pria yang single and available and at the mean time, he’s dating a sexy girl named Kelana Lesmana Dewi?

Is that too much to ask, Babe?

“Kamu tahu, Kelana…” kata Radit sambil menggenggam jemariku. “Seandainya kamu mau… I would marry you. Right here, right now.”
Aku terdiam.

“I would love to kiss you in public…. Di depan semua orang…. Dan bilang sama mereka kalau perempuan cantik ini adalah perempuan yang aku cintai…”

Aku masih terdiam. Aku hanya melihat mata Radit berkilat-kilat dan aku tak berdaya untuk menahan air mataku yang sebentar lagi pasti akan meleleh.

“I would gladly marry you…. Kalau kamu mau menjadi istriku dan kalau aku bisa membuatmu yakin bahwa menikahimu tidak akan membuat Mona terluka…”

“Mona akan terluka, Babe,” kataku sambil terisak. See? The teardrops are falling…

“She is now.”

“Aku nggak ingin kamu lebih menyakitinya dengan menikahi perempuan lain…”

“But I’m hurting you, Sweetie… It’s been three years. Ya, tiga tahun, Sweetie. Kenapa kamu nggak mau jadi istriku, sih?”

“Because you’re married, Babe.”

“Well, I told you for so many fucking times. I can leave her!”

“But I cannot let you do that…” kataku sambil terus terisak.

“Mau kamu apa, sih?” Radit mulai kehilangan kesabarannya, and believe me, it’s not his first time.

“Setahun kemarin aku sudah bilang sama kamu, kan… I wanted to leave her. Tapi kamuw selalu melarang aku untuk melakukannya…. Til now.”

“Iya.. aku tahu…”

“Tapi lihat kamu barusan? Kalau saja tadi ada cameraman yang menggondol kameranya di samping kita lalu merekam peristiwa ini barusan, kamu akan lihat betapa sedihnya wajah kamu saat bilang kita take away aja seperti biasa…”

“Iya…”

“Make up your mind, Kelana. Are you in, or are you out?”

“Maksud kamu?”

“Johnny Depp pun selalu punya waktu kosong di tengah-tengah film yang satu dan film lainnya. Tapi seorang Raditya Samudera tak pernah punya waktu istirahat untuk berakting. Dia harus berakting dua puluh empat jam, Kelana. Half day di kantor, half day di sini, bersama kamu. First half, aku berpura-pura untuk tidak mengenalmu. The other half, aku musti berpura-pura untuk tidak menyakitimu. Don’t you realize how it’s killing, me? Aku bisa gila kalau harus berpura-pura seperti ini terus!”

Radit memandangku dengan kesal. Ya, bukan yang pertama kali ini dia merasakan kekesalan yang sama. Aku tak bisa berkata apa-apa, kecuali memeluk tubuhnya yang bergetar.

Ah, I am truly a weirdo.

Pernah nggak sih, di sepanjang sejarah, ada seorang perempuan muda yang rela menjadi wanita kedua, tapi membiarkan lelaki tercintanya itu untuk tidak menikahinya dan melarangnya untuk meninggalkan istrinya demi perempuan itu?

Pernah nggak sih, di sepanjang sejarah yang pernah kamu tahu, kalau itu semua dilakukannya atas nama cinta, karena di matanya cinta adalah memberikan segalanya tanpa menuntut mendapatkan segalanya?

Kalau memang tidak pernah terjadi dalam sejarah, well, then let me be the first.

Aku akan telepon MURI atau Guiness Book sekalian supaya segera mencatatnya karena aku adalah perempuan pertama yang rela menahan sakit hatinya sendiri dan sangat naïf dalam menerjemahkan isi hatinya.

(4) Radit's Addict

What’s your most favorite TV series?

Ally McBeal? Friends? Brothers and Sisters? Sex and the City?

Wait, stop right there. Kalau kamu menyukai empat serial televisi itu, aku bakal merinding dangdut karena akan mengira bahwa kita kembaran!

Kelana Lesmana Dewi adalah pecinta empat serial televisi itu dan tak pernah sanggup melewatkan satu episode pun kalau sedang tayang di televisi. Untunglah sekarang semua serial itu sudah diformat dalam bentuk keping DVD, sehingga aku bisa memutarnya, again and again, di DVD player ruang tamu, sambil mengemil kacang rebus.

And what makes it even better adalah… ketika aku menikmatinya sambil duduk di atas sofa yang empuk, dengan lengan Radit yang merangkulku hangat.

Is it the TV, or is it because of he’s here?

Entahlah, momen-momen duduk di depan televisi sambil bercengkerama mesra bersama Radit adalah momen yang aku rindukan ketika lelaki-ku itu harus pulang ke Jakarta. Makanya, aku menikmati sekali setiap guliran detik itu, sambil memanjakan tubuhku dan berpuas-puas mencium harum tubuh Radit yang sensual karena bau cologne dan tembakau yang terbakar.

Seperti sekarang.

“Jadi, Helen pingsan beneran?” Tanya Radit usai mengecup pinggir dahiku, lembut.

“Not really, tapi aku curiga… dia pipis di celana,” sahutku sambil tertawa. Radit ikut tertawa terbahak-bahak, mungkin dia membayangkan betapa ‘mengerikannya’ melihat Helena pipis di celananya, di sebuah fancy restaurant yang tidak pernah sepi meskipun sedang krisis.

“I bet she did…”

“Well, aku belum pastikan, sih. Ntar aku telepon dia, deh..”

“Haha, iseng bener sih, kamu, Sweet…”

“Bukannya itu yang bikin kamu jatuh cinta sama aku, hm?”

Radit pernah membocorkan sebuah rahasia padaku, di kencan pertama kami. Saat itu, kami sedang makan siang di Hachi Hachi Bistro, karena beberapa kali kami bumped into each other then we decided to have the real date.

Saat itu, Radit bilang, “You know what’s the best part of you?” Tanya Radit setelah meletakkan sumpitnya lalu memandangiku dengan matanya yang indah.

Jujur saja, it was the most awkward moment ever happened in life, mengalahkan wawancara pertama dengan Bos Taiwanku, salah masuk ke toilet pria, dan bohong pada Bos kalau aku sedang sakit lalu siangnya ketemu di mal dan beliau melihat aku sedang memborong kaos-kaos cantik di Orange… perfectly healthy!

“Do you?” tentunya aku nggak bisa bilang kalau the best part of me is the size of my bra, kan?  Dan aku memilih untuk membiarkan Radit melanjutkan kata-katanya.

“I do,” sahutnya pendek. Masih memandangiku seolah aku sedang telanjang… or did he picture me that way?

“Apa?”

“The way you smile…”
Senyum ala Luna Maya itu, kah, Dit?

“The way you laugh…”
Yang sanggup membuat orang menoleh berkali-kali untuk memastikan bahwa aku ini perempuan biasa bukannya titisan nenek lampir itu?

“The way you talk…”
Yang, only God knows, when I stop?

“The way you dress…”
Oh, I’m pretty aware of this one. Aku memang paling anti keluar dari rumah dengan pakaian yang tidak match antara baju, rok/celana, sepatu, tas, dan tatanan make up.

“The way you make jokes…”
Ah, everybody says that I am a natural standing comedian. Kata mereka, tanpa kehadiran seorang Kelana, kantor kami menjadi kuburan saking sepinya!

“And one thing…”
Radit sengaja menggantung kalimatnya dan membuatku penasaran.
“Kamu tahu, apa yang terakhir itu?”

Aku menggelengkan kepala. Aku hanya terdiam memandanginya, minus kata-kata, seperti seseorang yang tengah terhipnotis oleh si Ganteng Rommy Raffael.

Pertama kalinya, Radit menyentuh punggung jemariku dan mengelusnya perlahan. “The way you look at me… seperti sekarang.”

Perasaan yang berdebar-debar itulah yang kini aku rasakan setiap kali Radit menciumku, memelukku, menyentuh ujung hidung, dan menggelitik pinggangku. Every tiny thing he does, membuatku selalu merasakan debaran aneh di atas perutku.

Carrie Bradshaw pernah menyebutnya sebagai Zsa Zsa Zsu.

Helena menyebutnya sebagai Butterfly.

Tapi aku menyebutnya sebagai addict; sebuah kecanduan yang membuatku sebel setengah mati setiap dia harus berpamitan pulang ke apartemennya sendiri.

(3) Lunch With Helena

“Len, nggak percuma lo digaji sama kantor lo, yah…” kataku saat makan siang dengan Helena di food court mal, dekat kantor. Agenda harian kami, sebetulnya, meskipun belakangan sudah sangat jarang karena Helena sok sibuk dengan laporan keuangannya menghadapi global crisis ini.

“Maksud lu?” Helena tengah berjuang mengunyah bakmi goreng Jawa favoritnya. Pertama: bakmi goreng di situ terkenal kenyal. Dan kedua: dengan mengetahui kondisi usus yang bermasalah, adalah nekat kalau masih tetap menjadikan bakmi goreng Jawa yang kenyal dan super pedas sebagai menu makan siang… or menu kapanpun!

“Ya, maksud gua… Lo jadi ada duit buat beliin CD-CD itu, Len…” kataku sambil menyodorkan tisu ke sahabatku yang mendadak menjadi seperti baju basah yang diperas.

Helena mengambil tisu itu lalu menghapuskan ke wajah cantiknya. “Benernya bukan masalah duit, kali, Na..” katanya. “Lebih tepatnya, gue sempet stress karena nggak ada waktu buat nyari koleksi CD Frank Sinatra itu… Lu kan tahu ndiri, Bu… Frank Sinatra itu udah jadul-sejadul-jadulnya….”

“Heh, lu ngomong gitu kayak judul lagu Malaysia itu, sih…”

Remember lagu Rindu Serindu-Rindunya? 

Helena ketawa. “Kenapa? Favorit elu, ya? Gitu ngakunya pecinta Frank Sinatra… Jangan-jangan koleksi elu di apartemen bukan Frank Sinatra, tapi Ami Search ya?”

“Lha, bukannya gua begitu karena elo yang nularin ke gua?”

“Jijay!”

“Elo tuh, yang jijay…”

“Dan elo tuh yang nggak sopan, udah tahu gue ngasih kado yang bombastis begitu, elu masih ngata-ngatain gue dan nggak nraktir gue makan kemana gituh…”

“Bukannya siang ini gua udah nraktir elo, Bu?”

“Hey! Thirty three years old dan elu masih nraktir gue di Food Court? Kelas elu tuh udah yang Jade Imperial, Bu. Rekening elu di bank juga nggak bakal sadar kalau elu nraktir gue makan di sana…”

“Haha… usaha minta traktiran yang sangat dahsyat, Len. Lo emang tahu kalau gua paling suka dibilang pintar…”

“Hayah, emang kapan gue nyebutin gitu???” Tanya Helena bingung.

“Suka-suka gua, dong.. Elo masih mau gua ajak dinner di Jade Imperial, kan?”

Helena mengikik geli. “Iya lah…”

“Ya udah, nurut ama gua…” kataku sambil memasang mimik wajah pura-pura galak.

“Iya deh, iya… Ibu Kelana Lesmana Dewi yang baik, cantik, pintar menabung pula..” lanjut Helena yang kemudian sukses membuatku tertawa.

Ah, Helena, Helena…
Hanya karena aku menjanjikan dinner di resto mahal, dia sudah repot-repot memuji sahabatnya ini sampai setinggi langit. Gimana kalau setelah dinner nanti malam aku bilang sama dia soal tiket Mariah Carey dan permintaan khusus supaya dia menemani aku menonton konser serta menginap di hotel berbintang empat, sambil belanja sampai bangkrut di Singapura ya?

Harus siap-siap membawa tim medis nih, nanti malam.

Jaga-jaga aja, siapa tahu Helena beneran pingsan.

(2) Frank Sinatra

Ting!

Pintu lift terbuka.

Aku segera melangkah keluar dari dalam lift lalu berjalan menuju ruanganku. Hari masih terlalu pagi dan biasanya memang tidak ada yang repot-repot menyambutku dengan senyum khas seorang anak buah pada atasannya, kecuali Pak Dadi, office boy kantor yang memang sudah sangat akrab denganku sejak sepuluh tahun aku bekerja di kantor ini.

“Pagi, Mbak Lana… Saya sudah siapkan kopi buat Mbak Lana di meja…”

Do you know how addicted I am to coffee? Bukan kafein-nya yang membuatku sangat kecanduan, tapi faktor psikologisnya yang bisa memain-mainkan perasaanku untuk terus mencanduinya. Heran, ya? Well, welcome to the club, then. Aku juga merasa sangat aneh kenapa kopi membuatku lebih merasa tenang setelah mengkonsumsinya.

“Pagi, Pak…” aku menjawab sambil melemparkan senyum andalan. No teeth, light, tapi dengan mata berbinar. Bingung membayangkannya, hm? Coba bayangkan saja Luna Maya sedang tersenyum, kamu pasti akan tahu bagaimana cantiknya seorang Kelana (he-eh, itu aku!) ketika melemparkan senyum andalannya. “Makasih kopinya, Pak. Bapak sehat, kan?”

Kebiasaanku adalah bertanya, “Sehat, kan?” Pada siapapun. Bertemu dengan random friends di jalan, di email-email, di ujung telepon. Entahlah, ini sudah menjadi semacam kebiasaan baik yang tidak ingin aku hentikan. Rasanya tenang sekali kalau tahu lawan bicara kita sedang in good condition. Masa ini bisa bikin orang masuk neraka, sih?

“Sehat, Mbak Lana… Oh ya, tadi dicari sama Mbak Helen, Mbak.”

“Helen?”

Helena adalah sahabatku. Kami bertemu ketika masih sama-sama junior di kantor pelayaran ini. Latar belakang kami yang seusia, doyan hang out, pecinta kopi, dan menganggap bahwa George Clooney adalah lelaki paling seksi di seluruh muka bumi, telah menjadikan aku dan Helen seperti perangko dan amplopnya (hih, kenapa aku jadi nggak tega gitu ya, menulis ini? Perangko dan amplop? Wait, wait… ungkapan jaman kapan itu? Hehe). Meskipun kini dia berselingkuh dari perusahaan ini lalu menjadi kepala keuangan di kantor yang lain, kami tetap sering berkomunikasi seperti layaknya sepasang kekasih… ups, wait, wait a second. Please ignore the last sentence, would you?

“Iya, Mbak. Tadi kira-kira lima belas menit yang lalu Mbak Helen ke sini. Bawa sesuatu, Mbak… Kayak kado ulang tahun gitu… Dibungkus kertas kado, Mbak… Sekarang ada di meja…”

Sesuatu? Dibungkus kertas kado? Seperti kado ulang tahun? Hey, it’s not my birthday….. is it?
Aku sudah lama tidak melihat kalender, barang yang hanya aku lihat setiap Radit meninggalkan aku untuk kembali ke Jakarta, menemui istri dan dua jagoannya. Kalau Radit pulang kampung seperti itu (hey, sejak kapan Jakarta jadi kampung, ya?), kalender menjadi salah tingkah karena aku pandangi terus-menerus! Sembari menatap angka-angkanya, aku berharap penanggalannya segera berganti, supaya aku segera bisa bertemu Radit kembali.

Jadi bisa dimaklumi, kan, kalau aku jadi lupa dengan penanggalan kalau dua hari yang lalu Radit pulang ke Surabaya dan kami menikmati malam-malam kami di depan televisi yang menyala serta sepiring pisang goreng buatan Bik Inah?

“Mbak Lana ulang tahun, ya?” Tanya Pak Dadi.

“Sekarang tanggal berapa, sih, Pak?” Tanyaku dengan wajah bego. Ah, damn. Meskipun aku memakai setelan jas yang mahal dan stiletto warna hitam serta tatanan rambut super trendy, tetap saja aku terlihat sangat bego kalau sedang kebingungan.

“Mmm… Tujuh, Mbak… Iya, tujuh…”

Spontan aku berteriak. “Tujuh Februari, Pak??? Maret apa Februari, sih???” Tuh, kan. Bego lagi, kan? Kalau hari ini sudah tujuh Maret, ada berapa laporan penting yang tidak aku submit ke Taiwan dan mungkin aku sudah mengantungi Third and Final Warning Letter yang dikeluarkan oleh petinggi perusahaan!

“Februari, Mbak…” Pak Dadi dengan sabar meluruskan lagi. “Mbak Lana beneran ulang tahun, ya…”
Aku tersenyum.

“Iya, Pak… Saya ulang tahun hari ini…”

No wonder, semalam tadi Radit memberikan tiket konser Mariah Carey dan berkata, “You’re so fucking amazing, don’t you know that? You’re not getting older, you’re just getting sexier…” Ah, bodohnya aku karena nggak sadar kalau itu adalah caranya mengucapkan selamat ulang tahun…

Dan later on, aku menemukan sebuah kado dari Helena di atas meja kerjaku, yang kemudian aku buka dan membuatku terkejut kesenangan. Koleksi CD Frank Sinatra from time to time yang bisa membuat pecinta Frank Sinatra seperti Kelana Lesmana Dewi, bisa meneteskan air mata bombainya…

(1) Have you ever been in love so bad?

Have you ever been in love with a guy?

A guy who simply just took your breath away hanya dengan menatap balik ke arahmu dan membiarkanmu terperangkap tak berdaya di sana? Lalu kamu malu setengah mati karena sudah ketahuan telah menelanjangi wajahnya yang terlihat sangat maskulin dengan cambang yang dibiarkan tumbuh tak rapi bak membingkai paruh bawah wajahnya? Juga terlihat sangat manis ketika melemparkan senyumnya dan membuatmu sungguh tak bisa membalas senyum itu?

Well,


I’ve been in love with that guy; the kind of guy that looked so beautiful in any suits he wears; kaos lengan pendek berkerah warna putih yang dipadukan celana jeans serta sepatu olahraga, kemeja lengan panjang yang digulung sesikut berpadu dengan celana bahan dan sepatu kerja yang seringkali tak tersentuh semir, atau kaos polos dengan celana selutut dan sandal jepit Adidas. Whatever he wears, merek apapun, kumal atau freshly taken from the laundry spot, tetap saja he looks absolutely handsome.


Did I just say how handsome he is?


Ah, I did! I really did. Laki-laki itu memang terlihat sangat ganteng meskipun tubuhnya dipenuhi keringat. Doesn’t need mirror to say how attractive he is or some other girls to say how cute he is, karena memang begitulah dia.


A guy… rr… okay. MY guy, who’s so amazingly gorgeous in any suits, who’s so damn romantic in treating me, who’s so clever on doing his daily jobs, and for some other reasons I would rather not mention them to you. Seperti yang pernah dikatakan Ross Geller di dua episode terakhir Friends, “I’m not the kind of man who kiss and tell, and I’m also not the man who had sex and not telling anyone!” Hihihi. Apa coba, maksudnya?


Aku memang selalu jatuh hati dengan lelaki yang tahu apa yang dia kerjakan. I mean, aku menyukai orang yang sudah memiliki rencana-rencana dalam kehidupannya. Hidup memang menggelinding dan faith atau destiny telah ditentukan sebelum roh dihembuskan dalam tubuh, tapi alangkah indahnya bila kita tahu bagaimana menghadapi hidup, kan? Mengerti apa yang harus dilakukan, mengerti apa yang ingin dilakukan, adalah satu hal yang aku kagumi dari lelaki itu.


In his age, almost forty (and super duper sexy!), dia telah mewujudkan impiannya sejak masih menggunakan abjad ABC sampai Z untuk merangkai kalimat-kalimat tentang Ibu-nya Budi, Bapak-nya Budi, juga Wati-nya Budi yang kakaknya itu. Membangun sebuah gedung sekolah, membuka sebuah restoran, sekaligus menjadi seorang Branch Manager di perusahaan pelayaran.


Once he said, “Aku benar-benar kepengen jadi pengajar, Sweetie…”


“Well, kamu malah pemilik Yayasan, kan?”


“Hm, I mean, really, really teaching. Saat melihat Ayah mengayuh sepeda ke sekolah negeri di kota kami, aku tahu, someday aku pingin seperti beliau…”


“Menjadi seorang Oemar Bakrie yang tanpa bayaran? Mengabdi, gitu?”


“It’s not always about the money, kan, Sweet? Sometimes, ada hal-hal yang tidak pernah bisa diukur dengan uang. Seperti kebahagiaan, kepedulian, cinta….”


Ya. Seperti yang aku rasakan padanya; pada lelaki yang akhirnya bilang, “Being a teacher is one of my favorit dream, Sweet. Selain itu, aku kepingin menjadi pengusaha rumah makan tempat Ibu bisa mewarisi resep-resep masakannya yang dahsyat…”


Don’t you just love to see your man talking about his dreams and how he could manage to make those dreams come true? Don’t you just love to see the sparkling stars in his eyes? And at the same time, dia memelukmu erat dan membiarkan jari-jemarinya mengusap bahumu pelan dan lembut?

Ah, memang akan selalu ada hal-hal yang tak pernah bisa terbeli dengan uang.

Zara, Mango, Banana Republic… well, itu adalah barang-barang yang bisa dibeli dengan uang atau kartu plastik hebat bernama Credit Card.


Hachi Hachi Bistro, Penang Village, Jade Imperial… hem, those fancy restaurants just only accepted cash or credit card, bukan kasih sayang atau rengekan penuh simpati.


Toilet yang gratisan pun sudah jarang, kecuali toilet di apartemen atau rumahmu sendiri.

There’s something that money can’t ever buy.

Let me tell you mine.

Pelukan Kekasih ketika lama tak bertemu, kalimat-kalimat nakal dan bawel di telepon saat berjauhan, sentuhan di dahi saat merapikan poni yang jatuh berantakan di dahi, bantuan Kekasih ketika mengkaitkan gelang silver bersepuh emas putih, dan sekedar bertanya, “Hey, kamu keliatan nggak sehat. Aku antar ke dokter, ya?”

Tidak akan bisa tergantikan dengan uang, dalam jenis apapun. Logam, kertas, dan jenis mata uangnya.


Just simply because I love him. Dan kebersamaanku dengan Kekasih tercinta, adalah satu hal yang tak pernah ada sangkut pautnya dengan jumlah materi dan kucuran uang bulanan yang bisa saja aku minta darinya.

I love him.
I really do.

Meskipun aku tahu, loving him is the craziest decision ever made so far.

Because he’s not just mine.
Because he belongs to another woman, far away in his hometown.
Please blame or curse me in any language you know for this horrible thing I do.
But please don’t blame me for falling in love so deep with a guy, who’s now looking back at me, smiling at me, and kissing me so deeply like he never kissed me before.

So have you ever been in love badly?


Sangat mencintainya sampai meninggalkan logikamu di bawah kolong tidur sehingga kamu bebas mencium dan memeluknya meskipun kamu tahu semua ini adalah sangat salah?

Well, I have.
Nope.
I do.
Sekarang.
Saat ini.

Pada lelaki yang tadi menunjukkan dua lembar konser musik penyanyi favoritku, Mariah Carey, yang menyelenggarakan konser-nya di Singapura, lengkap dengan tiket pesawatnya sekaligus…